Sabtu, 28 April 2012

Medical Record & Informed Consent



DESAIN DAN IMPLEMENTASI SISTEM MEDICAL RECORD PADA INTRANET

Created by :
BARNAD ( )



Subject: 
INTERNET
Keyword: 
medical record
intranet
model objek
pemrograman berbasis web.

[ Description ]


Medical record merupakan kumpulan Catatan perawatan, catatan pengobatan dan catatan hasil pemeriksaan laboratorium. Medical Record memiliki fungsi sebagai rujukan dokter dan perawat dalam melakukan tindakan medis pada pasien. Dengan sistem manual seorang dokter hanya terbatas mengakses data-data medis pasien yang telah dibuatnya. Intranet sebagai sarana komunikasi data secara on-line dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan tersebut dengan membangun medical record yang dijalankan dalam sistem ini. Untuk membangun sistem medical record ini dilakukan pemodelan sistem menggunakan model objek sehingga memudahkan implementasi secara top down kedalam bentuk pemrograman berbasis web. Program aplikasi sistem medical record yang telah dibuat memiliki kemampuan untuk memasukan, mengubah, menampilkan dan menghapus data medis setiap pasien. Transaksi data dalam program aplikasi sistem medical record ini dilakukan secara dinamis sehingga dapat secara langsung memberikan informasi apabila terjadi perubahan data.


Alt. Description
Medical record is a collection of treatment notes, medication report and laboratory check results. It has a function as reference for a physician and nurses in taking a patient medical diagnosis and treatment. A manually medical recording system has a limited data recorded only by the physician. Intranet as an online system, can overcome the above limitation by integrating the patient data on the web-based medical record system. The medical record system developed in this research is modeled using the object model, so that it is easier to top down implement in a web-based programming. Medical record application program has facilities for entry, edit, view and delete patient medical record. Data transaction in this system runs dynamically, so that it can give a real time information.

E-Medical Record Adalah Dasar E-Health
[wartaekonomi.co.id] Menurut Suryo Suwignjo, presiden direktur PT IBM Indonesia, implementasi e-medical record adalah dasar dari sistem e-health. “E-medical record ini memang dasar dari e-health, dan yang terpenting, data medis itu bisa dipertukarkan, bukan sekadar disimpan,” kata Suryo. Ia menambahkan, salah satu hal yang membuat layanan kesehatan di luar negeri menjadi lebih baik ialah implementasi e-health. Langkah ini dinilai mampu mereduksi kesalahan manusia dalam layanan kesehatan.      

Perkembangan negara-negara maju dalam penerapan e-health sudah advance. Ia mencontohkan penggunaan chip yang ditanam pada tubuh pasien kritis. Chip ini berisi data rekam medik dirinya yang bisa diakses sejumlah rumah sakit di negara tersebut. Dampaknya, saat pasien dalam keadaan kritis, maka ia bisa ditangani secara optimal karena pihak medis bisa menjadikan data medik yang tersimpan dalam chip tersebut sebagai panduan tindakan.     

Di negara maju, imbuh Suryo, inovasi e-health sudah berkembang pesat. “Misalnya, ketika pasien berada di ambulans dan data yang diperoleh selama dalam perjalanan akan bisa didapat oleh paramedik rumah sakit tujuan secara real-time,” kata Suryo. Teknologi ini memungkinkan pasien ditangani lebih cepat setibanya di rumah sakit.     

Ke depan, Suryo berharap implementasi e-health di Indonesia dapat lebih optimal dengan melibatkan tiga unsur utama: asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan pemerintah. Selama ini, menurut Suryo, baik pihak swasta maupun pemerintah berjalan sendiri-sendiri dan kurang sinergi.  “Ke depan,  saya berharap medical record bisa saling tukar antar-rumah sakit,” ujarnya.      

Bagi korporasi, langkah ini juga dianggap efektif karena mampu meningkatkan efisiensi dari penggunaan alat-alat kesehatan yang terbilang mahal. Setiap rumah sakit bisa saling berbagi fasilitas sehingga pendapatannya dapat meningkat. “Setiap rumah sakit tidak perlu berlomba-lomba membeli perangkat kesehatan yang mahal, asal mereka saling terkoneksi dan bersinergi itu bisa sangat baik,” cetus Suryo. Jika itu tidak dilakukan, Suryo justru khawatir rumah sakit akan membebani diri mereka sendiri dan, mau tidak mau,  pasienlah yang menjadi korbannya.     

Tantangan lain bagi rumah sakit ialah mengimplementasikan kebijakan TI untuk rumah sakit. Maklum, urusan TI di rumah sakit saat ini masih terkendala oleh besarnya anggaran. RS Pondok Indah, misalnya, setidaknya menyisihkan 15%‒20% dari pendapatan korporasi yang besarnya sekitar Rp400 miliar per tahun untuk operasional TI. “Untuk bujet per tahunnya sekitar 20% dari pendapatan perusahaan, sedangkan investasi awalnya lebih dari itu,” kata Tavri. Meski begitu, Suryo optimistis peluang perbaikan layanan  kesehatan Indonesia masih terbuka lebar seiring tuntutan dalam meningkatkan daya saing rumah sakit.






Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]
Tiga elemen Informed consent [3]
1. THRESHOLD ELEMENTS
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. INFORMATION ELEMENTS
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding(pemahaman).
Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
o Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
o Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
o Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. CONSENT ELEMENTS
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) danauthorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
o Dinyatakan secara lisan
o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
Konteks dan Informed Consent
Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik spesialis.
Keluhan pasien tentang proses informed consent :
o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.
o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi
o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Keluhan dokter tentang informed consent
o Pasien tidak mau diberitahu.
o Pasien tak mampu memahami.
o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.


[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
[2] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37
[3] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005

0 komentar:

Posting Komentar